MODEL kepemimpinan orang berbeda-beda. Begitulah kuasa Tuhan mencipta manusia dengan kekhasan dan keunikannya masing-masing. Leadership style (gaya kepemimpinan) seseorang tiada lain adalah wujud rupa dari sosok pimpinan, bawahan dan situasi. Seperti itulah teori gaya kepemimpinan yang pernah saya baca. Ketiga unsur itu menyatu, saling menopang, dan saling mempengaruhi satu hingga berwujud model kepemimpinan.
Menyoal model
kepemimpinan pak Jokowi cukup menarik. Beliau sosok fenomenal yang juga
kontroversial. Fenomenal karena hobi blusukan dan kontroversial karena
ujaran; seperti “gampang sekali itu”, “itu bukan urusan saya,” dan sebagainya. Bagaimanapun adanya, kini beliau diamanahi menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta dan calon presiden Republik Indonesia. Allah-lah yang punya takdir dan ketetapan.
Mengenai
kegemarannya blusukan, berkelilig kecamatan dan kelurahan, menyusuri
waduk dan kali, menyapa warga Ibu Kota, menurut saya sebuah tradisi
pimpinan yang baik dibudayakan dan patut diteladani para pimpinan,
terlepas dari anggapan sebagian orang bahwa hal itu tak lain hanyalah
pencitraan. Turun gunungnya seorang pimpinan memberi arti bagi rakyat,
ia akan merasakan langsung apa yang dirasakan masyarakat, ia akan
menyimak langsung apa yang dimauinya. Fakta dan data di lapangan akan terasa hangat lalu menjadi landasan keluarnya kebijakan yang diharap tepat sasaran.
Sayang seribu sayang, beliau suka menggampangkan persoalan, mengenai kebiasaannya ini saya sudah mengulasnya dalam tulisan ini. Mengenai tulisan tersebut, saya tidak memaksa siapapun untuk mau mengiayakannya dan tidak pula melarang berbeda pandangan atasnya. Yang jelas, sikap menggampangkan persoalan seperti itu menurut saya terkesan angkuh dan menyepelekannya. Untuk gaya beliau yang satu itu tidak patut diteladani dan justru sebaiknya dihindari oleh pimpinan.
Satu
lagi, kesukaan beliau yang kontroversial menurut saya adalah melempar
tanggung jawab. Sikap menggampangkan persoalan dan melemparkan tanggung
jawab dapat memperburuk citra beliau di muka umum. Kalimat “itu bukan urusan saya” yang sering terlontar dari lisannya tak sedikit menuai kritikan dan bahkan cemoohan. Namun, itu adalah resiko kehidupan, berbuat yang dianggap baik beroleh pujian dan bersikap yang dianggap jelek menuai ejekan.
Skandal bus TransJakarta (baca: beli armada busway asal Cina) adalah
salah satu pemicu munculnya ujaran beliau “bukan urusan saya lagi.”
Kira-kira bunyi lengkapnya “Sudah masuk wilayah hukum, wilayah hukum,
wilayah hukum. Sudah lah, bukan urusan saya lagi.”
Tanggapan pimpinan di muka umum memang mesti berhati-hati. Bila salah
kata bisa berbahaya. Ujaran di atas dapat dipahami sebagai aksi ‘cuci
tangan’ ala pak Jokowi. Mungkin alibi beliau benar, pengguna anggaran
adalah Dinas Perhubungan. Namun, untuk belanja barang yang menghabiskan
uang 1,5 T adalah beliau yang tanda tangan. Jadi, beliau tak bisa lepas
tanggung jawab begitu saja. Entahlah, siapa yang sebenarnya paling
bertanggung jawab, pengadilan yang memutuskannya.
Lain busway karatan lain jembatan miring. Lagi, kata senada beliau lontarkan
“jembatan kayak gitu urusan Dirut Pasar Jaya. Enggak usah gubernur. Itu
urusan kecil kok, enggak usah gubernur.” Ucapan itu terlontar ketika
menanggapi persoalan buruknya konstruksi jembatan penghubung blok G
dengan blok F yang dikabarkan posisinya miring hingga 15-an derajat.
Ini pula yang menurut saya tak pantas terlontar dari lisan seorang
pimpinan. Bagaimanapun ucapan “ini bukan urusan saya” terkesan melempar
tanggung jawab atau berlepas tangan yang tak patut diteladani.
Ucapan
pemimpin didengar rakyatnya, baik ataupun salah. Sikap pemimpin dilihat
rakyatnya, terpuji ataupun tercela. Maka, kehati-hatian berucap dan
bersikap mutlak diperlukan siapapun apalagi seorang pimpinan. Anda suka
dengan model kepemimpinan Jokowi?
Jakarta, 20 Juni 2014
Salam Persaudaraan
Sumber: kompasiana
@
Tagged @ Politik
0 Post a Comment:
Posting Komentar - Kembali ke Konten